Selasa, 21 April 2015

DUTY CARE

Salah satu cara untuk melihat apakah direksi melakukan pengelolaan perseroan yang salah atau tidak bersalah adalah menilai apakah mereka gagal melakukan tugasnya dalam pengelolaan perseroan tersebut. Di samping itu, bisa pula dilihat dari berbagai kasus yang melibatkan direksi dalam konflik kepentingan (conflict of interest).[9]

Dalam konteks itu, harus dipisahkan penilaian berkenaan dengan kelalaian dan incompetence.[10] Hal ini dapat dipahami dari tradisi common law, seperti Amerika Serikat, dimana terdapat pendapat pengadilan dalam Bayer v. Beran, 49   N.Y.S.2d 2, 6 (1944), yang menyatakan, bahwa “it is unusual for directors to be liable for negligence in the absence of fraud or personal interest.”[11] Tambahan lagi, berbagai kasus menjelaskan bahwa dalam mengkritisi pengelolaan perseroan oleh direksi bukan hanya didasarkan kepada peraturan perundang-undangan, namun dilihat pula bagaimana direksi melakukan bisinis perseroan.[12]

Dipandang secara sekilas hukum perseroan mengisyaratkan bahwa direksi harus mengelola perseroan dengan kehati-hatian (care) yang semestinya sebagaimana halnya para pengemudi harus mengendarai mobilnya dengan penuh kehati-hatian.[13]

Hukum perseroan di Indonesia juga telah mengisyaratkan agar direksi dalam mengelola perseroan dengan kehati-hatian. Pasal 85 ayat (1) UUPT menentukan, bahwa “setiap anggota direksi wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha perseroan.” Namun ketentuan Pasal 85 ayat (1) tersebut tidak menjelaskan batasan kehatian-hatian. Akibatnya, sulit menentukan kapan direksi perseroan masuk pada kategori tidak mengelola perseroan dengan kehati-hatian.

Berbeda dengan The American Law Institute Principles of Corporate Governance yang telah menentukan 3 (tiga) kategori “kehatian-hatian yang semestinya” (“due care”) dalam peraturan perundang-undangan. Pertama, “care that an ordinarily prudent person would exercise in like position and under similar circumstance.” Kedua, care exercised  by prudent person in this own affairs.” Ketiga,” in a manner he reasonably believes to be in the best interests of the corporation.”[14]

 Dalam hal kehatian-hatian direksi mengelola perseroan tersebut perlu pula mengkaji pertimbangan bisnis (business judgment). Hakim Shientag dalam perkara Casey v. Woodruff, 49 N.Y.S.2d 625, 643 (1944) berpendapat sebagai berikut:

“The fundamental concept of negligence does not vary,wheter it is applied to the case of a simple personal injury action or to liability of directors in the managenment of the affairs of their corporation. A pedestrian crossing the street is under a duty to use reasonable care. He is required to look before he crosses, “but the law  does not say how often he must look or precisely how far, or when or from where…….. If he has used his eyes , and has miscalculated the danger, he may still be free from fault,”Knapp v.Barret, 216 N.Y,230,110 N.E. 428, 429. The law does not hold him guilty of negligence although if he had looked oftener the accident might have been avoided. He discharges his duty when  he has acted with reasonable prudence. So it is with directors. The law requires the use of judgment, the judgment of ordinary prudence, but it does not hold directors liable simply because they might have use better judgment.

The question is frequently asked, how does the operation of the so-called “bussines judgment rule” tie in with the concept of negligence? There is no conflict between the two. When courts say that they will not interfere in matters of bussines judgment, it is presupposed that judgment-reasonable diligence-has in fact been exercised. A director cannot close his eyes to what is going on about him in the conduct of the bussiness of the corporation and have it said that he is exercising bussiness judgment. Courts have properly decided to give directors a widw atitude in the management of the affairs of a corporation provided alwalys that judgment, and that means an honest, unbiased judgment, is reasonably axercised by them.[15]

Dalam sistem hukum perseroan di Indonesia, Komisaris[16] adalah organ atau badan pengawas mandiri PT. Berbeda dengan sistim hukum perseroan Anglo Amerika yang tidak mengenal Komisaris. Tetapi ada kesan bahwa Board of Directors yang dikenal dalam hukum perseroan Anglo Amerika mirip dengan Komisaris. Tetapi jika diperhatikan kemiripan tersebut adalah semu. Karena pada hakekatnya Board Of directors itu adalah organ eksekuttif PT. Hal ini terlihat dari fungsi Board Of Directors sebagai the Power and the duty to manage or direct the corporaton.[17].

Selanjutnya disebutkan bahwa[18] kewajiban Board Of Directors adalah sebagai. berikut: .

a.   Protect the assets and other interest of the share holder of the corporations

b.   To ensure the continuity of the corporation by inforcing the articless and by laws and by seeing that a sound board of directors Is maintained.

c.    To make decisions that are not delegable, such as the payment of dividends.

Komisaris dalam hukum perseroan di Indonesia mirip dengan jabatan Komisaris, yang dikenal dalam hukum perseroan Belanda.[19] Karena baik hukum perseroan Indonesia maupun Hukum Perseroan Belanda menentukan bahwa tidak ada keharusan bagi sebuah PT mempunyai komisaris. Kecuali PT tertentu di Indonesia, seperti PT yang bidang usahanya mengerahkan dana masyara­kat, peseroan yang menerbitkan surat pengakuan utang, atau Perseroan Terbatas (Pasal 94 ayat (2) UUPT dan juga  PT persero sebagaimana ditentukan pasal 34 ayat (1). Peraturan Pemerintah No.3 tahun 1983. Walaupun demikian sifat fakultatif dari hukum perseroan tersebut, pembuat Undang-Undang mengandaikan bahwa setiap PT yang mempunyai komisaris sebagaimana yang diatur dalam pasal 43, 52 dan 54 ayat 2 K.U.H.D serta Pasal 94 ayat (1) UUPT.

Penerapan prinsip duty of care dapat dipahami dalam Francis v. United Jersey Bank, 392 A.2d. 1233(1978) dimana perkara ini relevan untuk kondisi perusahaan termasuk perbankan di Indonesia. Perkara ini menyangkut Pritchard & Baird Intermediaries Corp. Pritchard & Baird suatu perusahaan yang bergerak dalam bisnis broker reasuransi. Charles Pritchard Sr., pendiri perusahaan yang selama beberapa tahun adalah pemegang saham utama dan sekaligus pengendah perusahaan. Pada tahun 1970 Pritctard Sr. mengajak anak-anaknya Charles Jr. dan William turut mengelola perusahaan dan pada saat Pritchard Sr. meninggal pada 1973 kedua anaknya tersebut mengambil alih kendali perusahaan.

Kedua anaknya tersebut telah menggelapkan uang perusahaan dalam bentuk “pinjaman pemegang saham” dan pembayaran-pembayaran yang tidak pada tempatnya (improper) kepada anggota keluarga. Pengeluaran uang ini tercermin dalam laporan keuangan perusahaan sebagai “pinjaman pemegang saham”. Akibat transaksi ini perusahaan menjadi insolven, dan pada akhir 1975 bangkrut. Francis kemudian ditunjuk sebagai trustee dalam kebangkrutan Pritchard & Baird. Dalam upaya memenuhi kewajiban perusahaan, Francis menggugat: (1) warisan Ri­chard Sr., yang bertindak sebagai administraturnya adalah United Jer­sey; (2) warisan Lilian Pritchard, isteri Richard Sr. dan komisaris perusahaan sejak saat perusahaan berdiri sampai bangkrut. Lilian meninggal dunia pada saat proses kebangkrutan dimulai. Pertanyaan utama dalam kasus ini adalah apakah Lilian Pritchard telah bertindak sembrono (negligently) sebagai komisaris, sehingga tidak mengetahui dan tidak menghentikan perbuatan melanggar hukum yang dilakukan anak-anaknya. Apabila jawaban terhadap pertanyaan ini benar, maka warisannya dapat dijadikan sebagai sumber pembayaran kewajiban perusahaan. Dalam kasus ini pendapat pengadilan sebagai berikut.

Komisaris bertanggungjawab atas menajemen perusahaan secara umum, dan bertanggungjawab khusus dalam kaitannya dengan distribusi aset kepada pemegang saham dan pemberian pinjaman kepada staf dan direksi. Benar bahwa Mrs. Pritchard tidak pernah terlibat dalam bisnis perusahaan dan hampir tidak memiliki pengetahuan mengenai kegiatan perusahaan. Tergugat jarang datang ke perusahaan dan tidak pernah membaca dan mendapatkan laporan keuangan perusahaan. Tergugat juga sudah tua dan tidak mengerti seluk-beluk bisnis asuransi. Laporan keuangan Pritchard & Baird disusun setiap tahun. Bentuk laporan keuangan ini sederhana tidak lebih dari tiga atau empat halaman. Laporan keuangan tahunan perusahaan secara jelas memuat tentang pembayaran yang dilakukan kepada keluarga Pritchard dan juga secara jelas mencerminkan kesulitan keuangan perusahaan. Singkatnya, siapa saja yang melihat laporan keuangan tersebut dan mengetahui sedikit tentang kegiatan perusahaan akan mengetahui bahwa Charles Jr. dan William telah mencuri uang perusahaan yang seharusnya dibayarkan kepada klien perusahaan.

Pengadilan menyatakan bahwa secara inheren tugas komisaris adalah yang bersangkutan harus memiliki ide dasar atas bisnis perusahaan. Komisaris harus mengetahui usaha apa yang dilakukan perusahaan dan harus memiliki ide dasar tentang ruang lingkup kegiatan perusahaan. Dalam hubungan ini, Mrs. Pritchard harus mengetahui bahwa Pritchard & Baird melakukan bisnis broker reasuransi dan setiap tahun menangani jutaan dollar yang dimiliki oleh atau harus dipertanggung-jawabkan kepada banyak nasabah. Dengan demikian pengadilan berpendapat bahwa seorang komisaris pada posisi Mrs. Prichard memiliki kewajiban “bare minimal”  untuk meminta dan membaca laporan keuangan tahunan lerusahaan dan bereaksi segera setelah membacanya. Meskipun komisaris tidak diwajibkan mengaudit buku perusahaan, komisaris harus familiar dengan status keuangan perusahaan dengan secara teratur mereview laporan keuangan perusahaan dan bahwa seorang komisaris bukan hiasan tetapi merupakan bagian penting dari corporate governance dan tidak dapat berlindung dibalik motto “dummy director”.

Pengadilan menyatakan bahwa tergugat mampu mengetahui perbuatan yang dilakukan oleh anak tergugat. Mendeteksi penyalahgunaan uang tidak memerlukan keahlian khusus atau kepintaran yang luar biasa. Dengan membaca sepintas laporan keuangan akan dapat mengetahui perbuatan tersebut. Dengan demikian apabila Tergugat membaca laporan keuangan, tergugat akan mengetahui bahwa bahwa anaknya telah melakukan penggelapan uang.

Pengadilan berpendapat bahwa Tergugat wajib membaca laporan keuangan dan melakukan usaha-usaha secukupnya untuk mendeteksi dan mencegah perbuatan melanggar hukum pejabat dan komisaris lainnya. Tergugat memiliki kewajiban untuk melindungi nasabah perusahaan terhadap kebijakan dan praktik-praktik yang dapat mengakibatkan penyalahgunaan uang yang dipercayakan kepada perusahaan. Tergugat telah melanggar kewajibaruiya tersebut. Argumentasi bahwa tergugat hanya “figurehead director” tidak dapat diterima. Dalam kontemplasi hukum tidak dikenal “figurehead director”,  hal ini telah lama dikenal dalam industri perbankan. 3A Fletcher, Cyclopedia of the Law of Private Corporations, # 1090 menyatakan:

It quently happ ens that persons become directors of banking houses for the purp ose o capitalizing the position in the community where the bank does business, without any intention of watching or participating in the conduct of its affairs. It is a danger­ouspracticc for director, since such tgunheads and rubber stamps an universally held liable on the ground that they have not discharged their duty nor exercised the re­quired amount of diligence exacted of them.

Tidak terdapat alasan berdasarkan peraturan bahwa yang dinyatakan oleh Flecher tersebut hanya berlaku terbatas bagi perbankan. Pengadilan berpendapat bahwa Mrs. Pritchard telah lalai dalam melaksanakan tugasnya sebagai komisaris Pritchard & Baird. Apabila yang bersangkutan melakukan tugasnya dengan hati-hati (due care) dia akan mengetahui perbuatan yang dilakukan oleh Charles Jr. dan William. Kelalaiannya tersebut telah menyebabkan kerugian pada nasabah. Dengan demikian warisannya harus dipergunakan untuk membayar kewajiban perusahaan.[20]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar